Setiap
kita sebagai seorang muslim dituntut untuk senantiasa mempelajari agama
ini. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, yang
artinya:
“Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Maksud
dari kata-kata (العلم) ”Ilmu” yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah bukanlah ilmu-ilmu yang bersifat keduniawian, melainkan ilmu
agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :
“Dan yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i” (lihat Fathul Baari I : 170).
Sedangkan
ilmu-ilmu lain selain ilmu syar’i merupakan ilmu alat yang dianjurkan
bagi seorang muslim untuk mempelajarinya. Bahkan hukum mempelajarinya
menjadi wajib apabila keahlian tersebut tidak ada yang menekuninya.
Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu pernah mengatakan bahwa kebenaran
tanpa disertai oleh sistem dan strategi yang rapih akan dikalahkan oleh
kebatilan yang dilakukan dengan menggunakan strategi yang sistematis.
Demikian pula dalam proses belajar, tentunya memerlukan strategi dan
metode yang baik. Karena sebesar apa pun tenaga yang kita curahkan dan
berapa pun materi yang telah kita belanjakan, jika tidak dibarengi
dengan metode yang bagus, maka tujuan yang diharapkan sulit untuk
tercapai.
Dan di antara strategi dalam belajar tersebut adalah:
1. Niat yang Ikhlas hanya kepada Allah
Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Tidaklah mereka
diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus …” (Q.S. Al Bayyinah: 5)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya amalan-amalan itu
dengan niat (tergantung pada niat) dan sesungguhnya seseorang diberikan
ganjaran sesuai dengan niatnya ....” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Oleh
sebab itu tidaklah pantas bagi seorang penuntut ilmu syar’i, melalui
ilmu yang ia miliki, ia mengharapkan kedudukan, martabat dimasyarakat,
ataupun untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Barang siapa
yang menuntut ilmu agama, yang mana hal tersebut (seharusnya) dituntut
hanya untuk mengharapkan wajah Allah, namun ia melakukannya hanya untuk
tujuan keduniaan belaka, maka di hari kiamat kelak ia tidak akan dapat
mencium wangi syurga” (H.R. Ibnu Majah, Ahmad, dan Abu Daud)
Imam
Al-Khatib Al-Bagdadi berkata: “Wajib bagi setiap penuntut ilmu agama
untuk mengikhlaskan niatnya dalam menuntut ilmu, dan menjadikan
tujuannya tersebut hanya mengharapkan wajah Allah.”
2. Mengikuti Sunnah dan Mengamalkannya
Allah
Shubhaanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Apa yang diberikan oleh
rasul, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
(Q.S. Al-Hasyr : 7).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya:
“Saya
telah meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan
tersesat selama kalian memegang teguh kedua perkara tersebut (yaitu)
Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya” (H.R. Malik).
3. Bertahap dalam Menuntut Ilmu
Kebanyakan
dari para ulama salaf memulai pelajaran mereka dengan belajar adab. Dan
sementara mereka mempelajari adab, mereka menghafal Al Qur’an, baru
kemudian dilanjutkan dengan mempelajari bidang-bidang ilmu lainnya.
Abdullah
bin Mubarak berkata: “Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya
mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan mereka (para ulama salaf)
memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu sebelum
mempelajari ilmu."
Dan
kebanyakan dari para ulama salaf telah mengajarkan adab kepada
anak-anak mereka sejak kecil. Dan mengajarkan mereka untuk menghafal
Al-Quran, tulis menulis, dan berakhlaq yang mulia. Apabila mereka telah
di anggap beradab, barulah mereka diikutkan dalam majelis-majelis ilmu,
berkata Sufyan bin Said Ats- Tsaury: “Tidaklah mereka (para ulama salaf)
mengirim anak-anak mereka untuk menuntut ilmu (agama) kecuali mereka
telah beradab dan beribadah selama 20 tahun”.
4. Bersemangat dalam Menuntut Ilmu
Telah
banyak riwayat yang menceritakan semangat para salafus shaleh dalam
menuntut ilmu dan bagaimana mereka menjaga semangat tersebut agar tidak
luntur. Bahkan terkadang mereka berlari-lari untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu tersebut, seperti yang dikatakan oleh Syu’bah bin
Hajjaj:
“Tidaklah
saya melihat seorang pun yang berlari, kecuali saya katakan, kalaulah
ia bukan orang gila, (maka) dia adalah seorang penuntut ilmu”.
Akan
tetapi hal yang terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap penuntut
ilmu agama adalah hendaknya ia mengambil ilmu agama tersebut dari orang
yang benar-benar mengetahui tentang ilmu agama tersebut, bukan dari
orang yang lemah hafalannya. Berkata Imam Muhammad bin Siriin:
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa
engkau mengambil agamamu tersebut”, diriwayat lainnya beliau katakan:
“Dulunya mereka (para ulama salaf) tidak bertanya tentang isnad (orang
yang meriwayatkan hadits) namun setelah terjadi fitnah, maka mereka
mulai bertanya: “Dari siapa kamu mendengarkan hadits tersebut ?”
(H.R. Muslim).
HAL-HAL PENGOKOH ILMU
1. Pemahaman yang Baik
Al-Khatib Al-Bagdadi berkata: “Ilmu adalah pemahaman dan pengetahuan, bukanlah banyak dan luasnya pengetahuan tentang riwayat”.
Ibnu
Abdil Barr berkata: ”Dan yang menjadi kesepakatan fuqahaa’ (ahli-ahli
fiqh) dan para ulama adalah membenci memperbanyak riwayat tanpa adanya
pemahaman dan ketelitian”.
2. Menghafal dan Mengamalkannya
Imam
Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal berkata: ”Tidaklah sampai satu hadits pun
kepadaku kecuali saya telah beramal dengannya. Dan tidaklah saya
beramal dengannya kecuali saya telah menghafalnya”.
Waki’ bin Jarrah berkata: ”Apabila kalian ingin menghafal hadits, maka beramallah dengannya”.
3. Mengulang-ulangi Hafalan bersama dengan Guru atau Teman
Anas
bin Malik Radhiallahu ‘Anhuma berkata: ”Dulu ketika kami berada di
dekat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kami mendengarkan hadits-hadits
dari beliau. Apabila kami berdiri (telah bubar dari majelis bersama
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam) kami mengulang-ulang hafalan hadits
tersebut sesama kami, sampai kami menghafalnya”.
Imam
Al-Khatib Al-Bagdadi berkata: “Sebaik-baik mudzakarah (mengulang-ulang
pelajaran) adalah di waktu malam. Ada sekelompok orang salaf memulai
mudzakarah mereka dari Isya dan bisa jadi mereka tidak berdiri hingga
mereka mendengarkan adzan shubuh”.
4. Bersabar dalam Menuntut Ilmu Agama
Telah
banyak riwayat yang menjelaskan bagaimana para ulama salaf bersabar
dalam menuntut ilmu. Bahkan terkadang mereka harus menempuh perjalanan
satu bulan untuk mendapatkan satu hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wa Sallam.
Oleh
sebab itu para ulama salaf telah mewasiatkan kepada murid-muridnya
untuk senantiasa bersabar dan menghindari sifat tergesa-gesa dalam
menuntut ilmu. Berkata Imam Az Zuhri: ”Barangsiapa yang menuntut ilmu
dalam jumlah banyak maka ilmu itu akan hilang dalam jumlah banyak pula.
Akan tetapi hendaknya ia mengambil ilmu tersebut (sedikit demi sedikit)
satu hadits kemudian dua hadits”.
Adapun
salah satu wasilah atau perantara untuk mendapatkan ilmu tersebut
adalah penguasaan bahasa Arab, karena bahasa ini ibarat gerbang masuk
untuk memahami wahyu-wahyu Allah dan hadits rasul-Nya. Umar bin Khattab
pernah memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin yang berada di daerah
kekuasaannya untuk mempelajari ilmu hadits, faraidh (warisan) dan Nahwu
(bahasa arab) sebagaimana mereka mempelajari Al-Qur’an.
Imam As Sya’bi berkata: ”Kedudukan nahwu dalam ilmu seperti fungsi garam dalam makanan.”
0 komentar:
Posting Komentar